Jumat, 30 Mei 2014

selamat memilih

Cuma menyampaikan nasihat ustad:
Jokowi adalah muslim, terlepas dari kadar keislaman dan pemahamannya terhadap Islam, dia punya kelebihan. Kelebihannya sudah sering diumbar oleh para pendukungnya di berbagai media. Semoga Allah Ta’ala memberikannya balasan yang setimpal.

Prabowo juga seorang muslim, terlepas dari kadar keislaman dan pemahamannya terhadap Islam, dia juga punya kelebihan. Kelebihannya pun juga sering diberitakan para pendukungnya di berbagi media. Semoga Allah Ta’ala memberikannya balasan yang setimpal.

Janganlah kelebihan kedua orang ini membuat masing-masing pendukung buta mata, mati akal, dan kerasnya hati, sampai membela keduanya secara membabi buta dan serampangan, hingga mendudukannya sekelas nabi.

Jokowi adalah seorang manusia, maka dia punya banyak kekurangan dan kesalahan. Sebagaimana kekurangannya itu disebarkan oleh lawan-lawannya juga melalui berbagai media. Semoga Allah Ta’ala mengampuninya atas kekurangan dan kesalahannya itu, dan mau menerima taubatnya jika dia bertaubat, karena ampunan-Nya begitu luas.

Prabowo juga seorang manusia, maka dia punya banyak kekurangan dan kesalahan. Sebagaimana kekurangannya itu juga disebarkan oleh lawan-lawannya melalui berbagai media. Semoga Allah Ta’ala mengampuninya juga, dan mau menerima taubatnya jika dia bertaubat, karena ampunan-Nya begitu luas.

Janganlah kekurangan dan kesalahan kedua orang ini membuat lahirnya mata kebencian dari pendukung masing-masing, lalu olok-olok, caci maki, serapah, dan fitnah, sampai mereka menjadikan lawannya sekelas setan.

Pujilah yang perlu dipuji, dan kultus bukanlah pujian…

Kritiklah yang perlu dikritik, dan fitnah bukanlah kritikan…

Pilihlah salah satu di antara mereka berdua, bukan karena benci dan cinta buta kepada pribadi, tapi karena ingin membangun negeri Indonesia, bumi Allah, bumi kaum muslimin… 

Kita harus memilih salah satunya, karena tidak mungkin memilih keduanya sekaligus, tidak mungkin pula membiarkan keduanya sekaligus…

Ketika kita memilih A, bukan karena membenci dan memusuhi B, bukan pula karena B tidak cakap dan tidak mampu….

Ketika kita tidak memilih B, bukan karena A lebih jago, cakap dan mampu dibanding B. Karena selama keduanya masih “Capres” maka keduanya sama-sama belum teruji kemampuannya sebagai Presiden. Namanya juga calon, belum ngapa-ngapain, baru rencana dan impian.

Ketahuilah, cinta secara ekstrem itu buruk, dan benci secara ekstrem juga zhalim. Posisikanlah kedua Capres ini sebagai manusia biasa. Bukan malaikat, nabi, apalagi Rabb semesta alam. Tapi jangan pula posisikan mereka seperti setan yang jahat.

Bagi seorang muslim, al- Quran dan as- Sunnah adalah panduan, kapan pun dan di mana pun, dan dalam hal apa pun. Keduanya adalah pegangan hidup yang telah bergaransi anti sesat dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Pilihlah Capres yang lebih kecil keburukannya, ketika kita tahu semuanya memiliki keburukan. Sesuai kaidah irtikab akhafu dhararain (menjalankan kerusakan yang lebih ringan di antara dua kerusakan).

Pilihlah Capres yang lebih berpihak dan mengajak kepada shirathal mustaqim, Islam, dan al-Quran, yang semakin membuat kita dekat dengan Allah Ta’ala, bukan justru semakin jauh dari Allah Ta’ala dan agama, hura-hura dan maksiat, ketika kita mengetahui bahwa kedua Capres ini pasti memiliki goal setting dalam hidup mereka. Sesuai firman-Nya, “Inna Haadzal Quran Yahdi Lillati Hiya Aqwam,” (Sesungguhnya al-Quran memberikan petunjuk ke jalan yang lebih lurus).

Pilihlah Capres yang lebih dicintai ulama dan dekat dengannya, mereka pun juga mencintai ulama dan menjadikan ulama sebagai tempat bertanya. Bukan hanya ketika kampanye saja, bukan pula sowan kepada musuh-musuh agama, ketika kita tahu bahwa ulama lebih paham tentang standar baik dan buruk, benar dan salah, dibanding orang kebanyakan. Sesuai firman-Nya, “Fas’aluu Ahlaz Zikri Inkuntum Laa Ta’amun,” (Bertanyalah kepada ulama jika kalian tidak mengetahui). Juga sabda nabi, “Al-mar’u ‘Alad Diini Khaliilih,” (Keadaan agama seseorang tergantung siapa kekasihnya).

Pilihlah Capres yang di sekelilingnya berkumpul ahlul khair (pelaku kebaikan), bukan ahlul ma’shiyah (pelaku maksiat), ahlut thaa’ah (taat) bukan ahlul hawa (penyembah hawa nafsu). Sesuai sabda nabi, “Al Arwaahu Junuudun Mujannadah,” (Sesungguhnya jiwa-jiwa itu akan berkomunitas dengan orang yang setipe dengannya).

Pilihlah Ccapres yang track record-nya jujur bukan pendusta. Karena nabi bersabda, “‘Alaikum Bish Shidqi Inna Shidqa Yahdi Ilal Birr Wal Birru Yahdi Ilal Jannah,” (Hendaknya kamu jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga).

Pilihlah Capres yang track record-nya bukan pendusta, karena berdusta adalah penyakit jiwa yang sulit sembuhnya. Ketika sudah terbiasa berdusta, maka korbannya bukan lagi satu manusia tapi satu negeri. Karena nabi bersabda, “Wa Iyyakum Wal Kadzib, Innal Kadziba Yahdi Ilal Fujuur Wal Fujuur Yahdi Ilan Naar,” (Takutlah kamu terhadap dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa kepada neraka).

Pilihlah Capres yang mampu menjaga amanah bukan mengkhianatinya. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Yaa Ayyuhalladzina Amanuu Awfuu Bil ‘Uquud,” (Wahai orang-orang beriman penuhilah janji-janji kalian). Firman-Nya juga, “Laa Takhuunullah wa Rasuul wa Takhuunuu Amanaatikum wa Antum Ta’lamun,” (Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan mengkhianati amanah yang ada pada kalian dan kalian sendiri tahu hal itu).

Pilihlah Capres yang mampu bekerja secara genuine bukan dibesar-besarkan, dan puja puji oleh media semata, sebab kita memilih Presiden bukan aktor sandiwara.

Pilihlah capres yang kuat dan pemberani, itu modal untuk keselamatan negaramu dari serangan asing, dan modal perlindungan untuk rakyatnya.

Selamat memilih!! Semoga Allah Ta’ala memberkahi.

oleh : Ust. Farid Numan

Sabtu, 24 Mei 2014

A - Z masalah jamak sholat

Jamak Shalat

Menjamak Shalat ketika bepergian adalah boleh menurut jumhur (mayoritas) ulamaHal ini berdasarkan hadits berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.”

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا.

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu  salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).”  

Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, melainkan juga hujan, sakit, dan keperluan yang mendesak.

Jamak ketika hujan

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة.

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan-nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata: “Termasuk sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya’.” Bukhari telah meriwayatkan bahwa NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya’ pada malam hujan.”

Jamak ketika Sakit

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل.

Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu  kuat.”

Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة ، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك ، وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ الْقَفَّال وَالشَّاشِيّ الْكَبِير مِنْ أَصْحَاب الشَّافِعِيّ عَنْ أَبِي إِسْحَاق الْمَرْوَزِيِّ عَنْ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَاب الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس : أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Sekelompok para imam, membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila ia memiliki keperluan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa yang dikehendaki dari jamak adalah ‘agar umatnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.”

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dan  inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ 

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur danashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.”

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:

قال ابن تيمية: وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.

“Berkata Ibnu Taimiyah: “Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An  Nasa’i secara marfu’ (sampai)  kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.”

Bahkan dibolehkan pula menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajarkan ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ قَالَ خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ يَوْمًا بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَبَدَتْ النُّجُومُ وَجَعَلَ النَّاسُ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ قَالَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ لَا يَفْتُرُ وَلَا يَنْثَنِي الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ

فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَتُعَلِّمُنِي بِالسُّنَّةِ لَا أُمَّ لَكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ فَحَاكَ فِي صَدْرِي مِنْ ذَلِكَ شَيْءٌ فَأَتَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَسَأَلْتُهُ فَصَدَّقَ مَقَالَتَهُ

 

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia berkata: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, sehingga manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat.. shalat!. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu hendak mengajari saya sunah?”, lalu dia berkata: “Saya telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq: “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.”Demikian. Wallahu A’lam.

Assalamu ‘Alaikum, Wr Wb. Sampai berapa lamakah tenggang waktu jamak dan qashar, bagi orang yang berada di luar negeri selama satu tahun, dan dia belum berniat mukim? (dari Hamba Allah)

Jawab:

Wa’alaikum salam Wr Wb. Bismillahirrahamanirrahim.

Perlu kita bedakan tentang kenapa, atau alasan apa sehingga shalat bisa di jamak dan di qashar.

Pertama. Jamak

Menggabungkan dua shalat (Jamak), seperti zhuhur dan ashar, maghrib dan isya. Bisa dilakukan kapan saja, asalkan syaratnya terpenuhi yakni terjadi masyaqqat(kesempitan, kepayahan, kesulitan), baik karena perjalanan (HR.Abu Daud), hujan (HR. Bukhari), sakit, bencana alam, rasa takut, kesibukan yang luar biasa, sakit, menuntut ilmu (HR. Muslim dari Abdullah bin Syaqiq), dan perilaku apa saja yang membuat aktifitas tidak normal. Jadi, tidak ada tenggang waktunya, selama Anda mengalami masyaqqat, maka Anda boleh menjamak. Biasanya masyaqqat datangnya tidak tiap hari’kan? Jadi, bepergian hanyalah salah satu alasan saja.

Misal: walau kita di luar negeri, dan sudah menjadi warga Negara sana (mukim), lalu di sana ada masyaqqat –misal  bencana alam- maka Anda boleh menjamaknya, walau Anda sedang tidak bepergian.

Dari Ibnu Abbas,  “Rasulullah pernah menjamak zhuhur dan ashar, serta maghrib dan isya, di madinah bukan karena ketakutan dan hujan.” Ada orang bertanya, “Kenapa Rasulullah melakukan itu?” Jawabnya: Agar beliau tidak menyulitkan umatnya.” (HR. Muslim)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa madzhab yang paling luas dalam hal jamak adalah madzhab Ahmad, ia membolehkan jamak karena kesibukan sebagaimana riwayat An Nasa’i secara marfu’ dari Rasulullah, sampai-sampai bagi juru masak dan orang yang sibuk membuat roti, dan yang takut kerusakan hartanya.

Imam An Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim-nya, “Beberapa imam membolehkan jamak bagi orang yang tidak musafir apabila ia ada suatu kepentingan, dengan syarat itu tidak dijadikan kebiasaan.” Inilah pandangan Ibnu Sirrin, Asyhab, Al Qaffal, Ishaq Al Marwazi dan jamaah ahli hadits.

Kedua. Qashar (meringkas shalat)

Adapun Qashar, alasannya sedikit berbeda dengan jamak, kalau jamak bisa banyak alasan yang penting adanya masyaqqat (kesulitan). Sedangkan kalau qashar karena bepergian. Ini sesuai ayat:

 Allah Ta’ala berfirman:

“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)

Dan baru bisa dilaksanakan jika: 1. Sudah keluar dari daerahnya, 2. lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar).  Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya. 3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Untuk berapa jauh jarak minimalnya sudah di bahas pada pertanyaan Bab 3, no. 6.

Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

Sebenarnya masalah ini sudah dibahas dalampertanyaan Bab 3, no. 6. Namun ada baiknya saya copy paste di sini.

Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.

Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selamadua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.”

Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir.

Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.

Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”

Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat.

Ibnu Umar  pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.

Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas  hari saja, dan ikuti oleh Imam Laits bin Saad.

Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduk.”  

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan yang harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian, walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.”

Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma’ (sepakat) bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun.

Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah dan para sahabat,  beserta pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain.

Jadi, selama Anda tidak berniat mukim, maka selama itu pula Anda tetap disebut orang yang musafir, walau Anda pernah singgah dahulu dalam waktu cukup lama.Tapi, ada baiknya, jika kondisi masyarakat tidak memungkinkan, khawatir ada fitnah (omongan yang bukan-bukan) karena mereka tidak berpendapat seperti para Imam ini, ada baiknya Anda mengalah, untuk tetap shalat sempurna. Kadang-kadang kita harus ‘mengalah’ tidak melakukan apa yang kita yakini, demi menghindar keributan, kecuali Anda tinggal di tempat yang umat Islam-nya mampu menjaga adab Ikhtilaf.

Wallahu A’lam

Assalamu ‘Alaikum, Wr. Wb. Benarkah shalat sunahqabliyah isya itu bid’ah? Berapa jauhkah kita dibolehkan untuk mengqashar shalat dan berapa lama waktu yang dibolehkan untuk tetap mengqashar shalat? (dari Jamaah Masjid Darus Salam – Anom – Desa Harapan – Pemangkat- Kab. Sambas)

Jawab:

Wa’alaikum salam Wr. Wb. Bismillahirramanirrahim.

Tentang Shalat Sunah qabliyah Isya

Shalat sunah rawatib ada dua macam, yaitu pertama,  sunah muakkadah (yang sangat dianjurkan), ini ada sepuluh rakaat, yakni dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah isya. (HR. Bukhari- Muslim). Kedua, sunah ghairu muakkadah (tidak ditekankan) dibebaskan bagi siapa saja yang ingin melakukannya, yakni dua rakaat sebelum maghrib (HR. Bukhari, Ibnu Hibban) dan dua rakaat sebelum isya (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ash habussunan)

Jadi, shalat sunah qabliyah isya adalah sunah yang tidak ditekankan, bukan bid’ah. Dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Antara dua adzan itu ada shalat sunnah! Antara dua adzan ada shalat sunnah!.” Ketika beliau bersabda ketiga kalinya, maka sabdanya diteruskan dengan, “bagi siapa saja yang menghendakinya.”

Maksud dari ‘antara dua adzan’ adalah di antara adzan dan iqamah. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Zubeir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tiada satu shalat fardu pun, melainkan pasti sebelumnya ada dua rakaat sunah.”

Jarak Dibolehkannya Shalat Qashar

Shalat Qashar (meringkas empat rakaat menjadi dua) adalah sedekah yang diberikan Allah Ta’ala kepada umat Islam. (HR. Jamaah). Mayoritas ulama menyatakan bahwa qashar lebih utama dilakukan dibanding shalat dengan sempurna (empat rakaat) jika syarat untuk mengqashar sudah terpenuhi. Karena qashar merupakan rukhshah(keringanan) yang Allah Ta’ala berikan kepada hambaNya, dan Dia senang jika keringanannya itu kita laksanakan. Sebagaimana hadits yang berbunyi:

Dari Ibnu  Umar Radhiallahu ‘Anhuma, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan)nya dilaksanakan, sebagaimana ia benci jika maksiat dikerjakan.”

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha“Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.”

Allah Ta’ala berfirman:

“Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)

Menurut ayat di atas, jelas sekali bahwa qashar disyariatkan jika dalam bepergian, atau sudah bertolak dari tempatnya berasal, alias sudah keluar dari kotanya. Adapun jika masih ditempat kediamannya, belum boleh dilakukan qashar. Berkata Imam Ibnul Mundzir, “Aku tidak menemukan sebuah keterangan pun bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar dalam bepergian, kecuali setelah keluar dari Madinah.”

Ketika bepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu qashar, tidak ada keterangan yang kuat yang menyebutkan bahwa beliau shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu, tidak sedikit para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib. Mereka yang berpendapat wajib adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan madzhab Hanafi menguatkan pendapat ini. Adapun kalangan Maliki mengatakan bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan), bahkan menurut mereka lebih utama dibanding shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat secara sempurna. Sedangkan kalanganHambali mengatakan qashar itu mubah (boleh) tetapi lebih utama dibanding shalat sempurna. Demikian juga pendapat kalangan Syafi’i. Ini semua jika sudah pada jarak dibolehkannya qashar.

Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwaada dua puluh pendapat tentang jarak dibolehkannya qashar. Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada satupun hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh  Sayyid Sabiq Rahimahullah, “Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu.”

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yakni:

Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqashar shalat. Ia menjawab,”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.”

Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak boleh qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Namun, jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa jarak dibolehkannya qashar adalah empat burd yakni 16 farsakh (88,656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dan pengikut ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yakni  Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empat burd (16 farsakh = 88,656 Km).

Nah, bagaimanakah yang benar melihat berbagai riwayat  yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban di dalam kitab Al Mughni, “Aku tidak menemukan alasan (yang bisa diterima) yang dikemukan oleh para imam itu. Sebab, keterangan dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan sehingga tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang digunakan oleh kawan-kawan kami (para ulama).  Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak bisa dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidaklah bisa diterima, disebabkan dua hal berikut:

Pertama, bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah dijelaskan.Kedua, teks ayat firman Allah Ta’ala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: “Apabila kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat ...” (QS. An Nisa’: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir ketika bepergian, sudah dihapuskan dengan keterangan hadits Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini bermakna  mencakupi seluruh macam jenis bepergian.”

Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika,1. sudah keluar dari daerahnya, 2. lalu dengan jarak yang sudah layak, patut, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama lain saling bertentangan. Inilah pandangan para Imam Muhaqiqin(peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, juga Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya. 3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan lihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan itulah pandangan yang seharusnya kita pilih.

Dalam Musnadnya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selamadua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.”

Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus mengerjakan qashar sebagaimana shalatnya musafir.

Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.

Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”

Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun, tetap mengqashar shalat.

Ibnu Umar  pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.

Adapun pendapat para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang membatasi paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Begitu pula pendapat Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas  hari saja, dan ikuti oleh Imam Laits bin Saad.

Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal tersebut kebetulan saja, artinya jika masa perang Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam bepergian tidak dapat dianggap sudah keluar dari hukum bepergian, baik singgahnya lama atau sebentar, dengan syarat ia tidak bermaksud menetap di sana sebagai penduduk.”  

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu boleh terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada keperluan yang harus diselesaikannya, ia tetap boleh mengqashar sebab masih terhitung dalam bepergian, walau bermukimnya selama bertahun-tahun lamanya.”

Imam Ibnul Mundzir berkata dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma’ (sepakat) bahwa seorang musafir diperbolehkan tetap qashar selama ia tidak bermaksud akan terus menetap di suatu tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun.

Inilah pandangan yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baik perilaku Rasulullah dan para sahabat,  beserta pemikiran yang cerdas dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq,dan lain-lain. Wallahu A’lam